pasgif1

Minggu, 31 Mei 2009

Peranan BAPAS dalam Peradilan Anak Perlu Ditingkatkan

Seiring makin seringnya anak-anak terlibat tindak pidana, peranan Balai Pemasyarakatan semakin penting. Sayang, masih banyak kendala yang muncul di lapangan, termasuk jumlah petugas pembimbing yang minim.

Balai Pemasyarakatan (Bapas) adalah salah satu unit pelaksana teknis di bidang pembinaan luar lembaga pemasyarakatan. Balai ini bertugas memberikan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak. Itu sebabnya, eksistensi Bapas sudah diakomodir dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Masalahnya sekarang adalah bagaimana memaksimalkan peran Bapas dalam system peradilan pidana nasional.

Demikian benang merah yang berhasil dirangkum dari sejumlah narasumber pada seminar sehari �Peran BAPAS Membangun Sistem Peradilan yang Ramah Anak� di Jakarta, Selasa (30/12). Seminar yang diselenggarakan Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia itu merupakan tindak lanjut hasil identifikasi masalah yang dihadapi para petugas Pembimbing Kemasyarakatan dalam kasus-kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku.

Tugas pembimbing di dalam Bapas memang tidak mudah. Menurut Apong Herlina, Koordinator Lembaga Advokasi Pemberdayaan Anak (LAPA), Lapas dan para petugasnya diperlukan sejak dini, mulai dari proses penyidikan, persidangan di pengadilan hingga anak pelaku tindak pidana bersangkutan selesai menjalani hukuman.

Berdasarkan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 3/1997, pembimbing kemasyarakatan (PK) memang bertugas membantu penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara anak nakal, serta membimbing, membantu dan mengawasi anak yang dijatuhi pidana bersyarat. Bahkan pasal 42 ayat (2) secara tegas menyebut bahwa penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari PK.

Namun diakui bahwa saran dari PK tidak selamanya manjur. Sebagai contoh dapat dilihat data berikut. Dari 126 kasus hasil penelitian masyarakat di wilayah hukum Jakarta Timur, semuanya mendapatkan saran dari PK. Saran tersebut bermacam-macam, mulai dari pidana hingga diserahkan ke organisasi social. Dari jumlah tersebut, 82 orang disarankan PK untuk dijatuhi pidana. Kenyataannya, PN Jakarta Timur menjatuhkan pidana terhadap 93 kasus.

Kendala

Menurut Djoko Setiono, Kepala Bapas Jakarta Timur-Utara, di lapangan masih ada sejumlah kendala yang dihadapi jajarannya. Djoko menyebut minimnya personil PK. Untuk menangani ke-126 perkara tadi, personil PK yang tersedia untuk seksi bimbingan klien anak hanya sembilan orang. �Secara logika jumlah tersebut bila dibandingkan dengan beban tugas dan wilayah kerja dirasakan sangat kurang,� papar Djoko.

Selain kendala personil, Djoko mencatat hubungan tenaga pembimbing Bapas yang belum kuat dengan aparat penegak hukum lain, termasuk instansi pemerintah (Departemen Sosial). �Pada tingkat penuntutan, jaksa belum memanfaatkan fungsi Bapas secara maksimal,� tambah Djoko.

Dalam konteks ini ada kesamaan pandangan antara Djoko dan Apong. Cuma, dalam pandangan Apong Herlina, kendala yang muncul juga berasal dari kalangan tenaga pembimbing. Mantan Direktur LBH Jakarta itu menilai belum ada keseragaman antar tenaga pembimbing dalam memberikan rekomendasi (litmas). Ia memberi contoh, untuk perkara anak yang mencuri sepeda motor, PK yang satu merekomendasikan agar anak dijadikan anak Negara, tetapi PK lain menganjurkan agar anak dipenjara saja.

Masalah klasik lain yang menimpa Bapas adalah soal dana untuk mendukung kegiatan teknis. Misalnya, pembimbing sering terpaksa mengeluarkan duit dari kocek pribadi saat mencari alamat klien yang akan dibimbing.

Kriminolog Universitas Indonesia Purnianti menyarankan agar dibentuk forum Bapas dengan melibatkan kalangan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat. Hal itu dimaksudkan untuk saling memberi masukan untuk memperbaiki pendekatan kepada si anak yang sedang menghadapi kasus tertentu.
(Mys/CR-1)
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=9409&cl=Berita

Read More......

Kamis, 07 Mei 2009

Krisis Hakim dan Jaksa Khusus Kasus Anak

Oleh arixs

Senin, 13-October-2008, 13:54:09

ANAK memerlukan perlindungan hukum dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Peran aparat kepolisian diperlukan dalam hal memberikan perlindungan baik kepada anak sebagai korban kekerasan atau anak sebagai pelaku tindak kekerasan.

Berdasarkan data di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Reskrim Polda Bali, kasus kekerasan anak yang ditangani selama kurun waktu 2005 hingga 2007 menunjukkan peningkatan.

Tahun 2005 terdapat 44 kasus dari sejumlah kasus seperti perbuatan cabul, persetubuhan dengan anak, melarikan anak untuk dinikahi, penganiayaan, pemerkosaan hingga pembunuhan bayi.

Sedangkan tahun 2006 mencapai 77 kasus, tahun 2007 sebanyak 86 kasus. Data kasus anak sebagai pelaku, tahun 2005 sebanyak 27 kasus, 2006 terdiri atas 8 kasus, 2007 sebanyak 16 kasus.

Dari sejumlah kasus tersebut, menurut Kompol Sang Ayu Alit Saparini, Kanit PPA Reskrim Polda Bali, pihaknya menangani empat kasus tahun 2005, tahun 2006 dua kasus, dan 2007 sebanyak 16 kasus.

Dalam memberikan perlindungan terhadap anak, selama ini pihak kepolisan mengacu UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan khusus tersebut diberikan kepada anak dalam situasi darurat.

“Misalnya anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan, anak korban penyalahgunaan narkoba, anak korban penculikan, korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak penyandang cacat dan korban perlakuan salah dan penelantaran,” tambahnya.

Selama ini, lanjut Suparini, tidak hanya anak sebagai korban, perlindungan hukum juga diberikan kepada anak pelaku tindak kekerasan. “Dua masalah itu yang menjadi titik berat kami,” ungkapnya.

Ini terbukti saat berlangsungnya penyelidikan. Hakim, penyidik dan penuntut umum yang menangani perkara anak harus mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Penyidik wajib memeriksa tersangka anak dalam suasana kekeluargaan dan wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan. Tak hanya itu, tiap anak yang ditangkap berhak memperoleh bantuan hukum.

“Hakim, penyidik, dan penuntut umum dalam pemeriksaan terhadap anak tidak menggunakan toga atau pakaian dinas. Pemeriksaan terhadap anak dilakukan secara tertutup dan wajib dihadiri anak, orangtua atau wali, penasihat hukum dan pembimbing kemasyarakatan,” katanya. Jaksa dan hakim anak jumlahnya terbatas.

Ini membuat proses peradilan dilakukan hakim dan jaksa bukan bidang anak. Otomatis, keputusan-keputusan hakim sering tak sesuai dengan peradilan anak-anak. “Anak dihukum lebih berat dari perbuatan yang dilakukan tanpa dilakukan pertimbangan terlebih dahulu,” katanya.
Tahanan anak dipisahkan dengan orang dewasa, batas umur anak yang dapat diajukan ke Sidang Anak minimal 8 tahun serta belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.

Suparini menjelaskan, penanganan kasus anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai korban maupun pelaku ditangani unit khusus yaitu Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).

PPA dibentuk di tingkat Mabes, Polda Poltabes, Polres. Petugas Unit PPA telah dididik secara khusus menangani kasus perempuan dan anak melalui pendidikan kejuruan dan berbagai pelatihan.

Dalam pemeriksaan, petugas tidak menggunakan seragam dan ruang pemeriksaan terhadap anak dibuat secara khusus terpisah dengan penyidikan kasus lainnya. “Penyidikan dilakukan di ruangan pemeriksaan khusus. Ini untuk menghindari tekanan psikologis. Bahkan kami juga berikan pelayanan konseling,” ujarnya.

Selain itu pemeriksaan harus dihadiri oleh orangtua atau wali dan penasihat hukum yang telah meminta penelitian dari Bapas (Balai Pemasyarakatan). “Penahanan terhadap anak dilakukan sebagai upaya hukum terakhir dan apabila dilakukan penahanan telah dipisahkan dengan tahanan dewasa,” katanya.

Perlindungan terhadap anak korban kekerasan diberikan pihak kepolisian mulai dari adanya laporan hingga kasus tersebut selesai. Suparini mengaku sering mengalami kesulitan menangani kasus anak yang menjadi korban.

Banyak kekerasan terhadap anak yang tidak diproses atau dilaporkan karena ketidaktahuan atau ketidakpedulian orangtua, masyarakat termasuk korban sendiri. Di lingkungan keluarga, masalah kemiskinan menjadi faktor kekerasan anak terjadi.

Misalnya banyak orangtua yang terpaksa menjual anaknya untuk pemenuhan ekonomi. “Para ‘pemburu anak’ banyak membujuk orangtua melepaskan anaknya agar tertarik bekerja di kota dengan gaji yang besar. Padahal anak hanya akan menjadi obyek yang diperdagangkan,” kisahnya.

Masalah lain yang memicu timbulnya kekerasan menurutnya anak jalanan yang belum mendapat penanganan yang memadai padahal mereka rentan terhadap perilaku eksploitasi seksual dan ekonomi.

Dalam sistem peradilan pidana, Rendahnya tingkat pelaporan oleh masyarakat, korban dan keluarga korban menjadi kendala proses penanganan kasus sulit terungkap. Hal ini juga ditunjang sulitnya memperoleh keterangan dari masyarakat untuk menjadi saksi.

Untuk itulah melakukan sosialisasi tentang kekerasan terhadap anak kepada publik khususnya bagi pemuka masyarakat dan guru untuk bisa diteruskan kepada lingkungan telah dilakukan PPA Polda Bali.

Salah satunya memberikan sosialisasi di sekolah-sekolah. Adanya upaya sinergistik dari seluruh aparat sistem peradilan pidana dalam penanganan kasus anak juga sering dilakukan.

“Kami juga lakukan kerja sama dengan instansi terkait baik pemerintah maupun swasta dan media massa,” tambahnya.

Khusus anak sebagai pelaku tindak pidana, menurut Suparini hambatan yang dialami terbatasnya jumlah petugas yang terlatih dalam menangani kasus anak. Rutan anak/Lapas anak jumlahnya sangat terbatas, jumlah Balai Pemasyarakatan dan petugas Pembimbing Kemasyarakatannya juga minim. —lik

http://www.cybertokoh.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=4992

Read More......
 

Copyright © 2009 by BALAI PEMASYARAKATAN KLAS II BOGOR